Hari itu Komang kembali merengek. Anak kelas lima SD itu, meminta ibunya mengantarnya ke pasar malam membeli Kelomang. Ibu Rahmat tak tega, dan menemui suaminya.
"Sudah tiga hari ini Komang cemberut, Pak. Dia ingin pelihara Kelomang. Nanti malam Bapak bisa antar dia ke pasar malam, kan?" tanyanya.
"Apa dia bisa merawatnya? Ikannya saja mati, sekarang malah mau Kelomang. Bapak mau mengantarnya asalkan dia janji memberi makan dan merawat Kelomangnya, rutin tiap hari," jawab Pak Rahmat.
"Sudahlah, Pak. Dituruti saja. Kalau sudah marah, dia nggak mau sekolah, je. Iya, nanti Ibu sampaikan ke Komang. Semoga saja, kali ini, dia bisa merawat kepiting mangrovenya dengan baik," terangnya dengan logat Jawa yang kental.
"Sudahlah, Pak. Dituruti saja. Kalau sudah marah, dia nggak mau sekolah, je. Iya, nanti Ibu sampaikan ke Komang. Semoga saja, kali ini, dia bisa merawat kepiting mangrovenya dengan baik," terangnya dengan logat Jawa yang kental.
"Namanya Kelomang. Ini kepiting, bukan keong. Kata penjualnya, sejak kecil dia telanjang. Setelah besar, dia mencari rumah keong di hutan mangrove untuk menutupi punggungnya yang lunak," ceritanya bangga.
"Ah, Kelomang nggak jaman. Sekarang jamannya Iguana," kata Agus, "ini Iguanaku. Keren, kan?" tukas Agus bangga.
Semua teman mengerubuti Iguana Agus. Mereka takjub dan berkata, "Ini baru binatang peliharaan yang keren. Kenapa kamu nggak pelihara Iguana saja, Mang," tanya Rizal. Ditanya begitu, Komang nampak kesal.
Komang kembali ke kebiasaannya dulu. Setelah seminggu rajin memberi makan, kini Kelomang dibiarkan merana. "Sibuk les bola, Bu. Nanti deh, gampang," begitu jawabnya, setiap kali ditegur ibunya. Orangtuanya prihatin dengan nasib kepiting mangrove itu. Mereka bergantian memberi makan Kelomang agar tak bernasib sama dengan ikan.
"Benar kan, kata Bapak. Komang sudah lupa dengan Kelomangnya, Bu," tegur Pak Rahmat.
"Iya, Pak. Sekarang dia sering ke rumah Agus, mainan Iguana, je. Kalau dia minta Iguana, gimana, Pak?" Bu Rahmat cemas.
"Kali ini kita harus tegas, Bu."
Malam itu hujan rintik datang. Setelah mengantarkan susu hangat dan makanan ringan ke kamar anaknya, Bu Rahmat bersiap tidur. "Dia pasti kecapekan main bola seharian. Besok saja ngobrol Kelomangnya," gumamnya sambil melihat anaknya yang mulai terlelap.
Komang pulas cepat. Tiba-tiba, dia sudah berada di dalam kebun binatang berpagar besi. Tak nampak orang tua dan teman-temannya. Dia sendirian! Komang mulai ketakutan. Di depannya, terlihat ratusan Kelomang raksasa mulai mendekati dan mengerumuninya.
"Astaga, kenapa tubuhku mengecil. Kenapa Kelomang itu jadi raksasa. Aku dijadikan tontonan di kerangkeng ini," teriaknya, "Bapak, Ibu, tolong aku. Hu...hu...hu...," tangisnya. Semakin keras tangis Komang, semakin banyak Kelomang yang mendekatinya dan mulai mencapit tangan dan kakinya dengan capitnya yang tajam. "Aduh, sakit. Ampun. Tolooong..."
Keesokan harinya, Bu Rahmat kaget karena Kelomang tidak ada di kotaknya. Binatang mangrove itu raib.
"Tenang, Bu. Aku sudah mengembalikannya ke rumahnya di hutan mangrove. Aku sadar, Kelomang rumahnya bukan di sini, tapi di hutan mangrove desa sebelah. Oh, ya. Jangan takut, aku juga gak akan minta Iguana, kok. Aku gak mau punya binatang peliharaan lagi. Aku les bola dulu ya, Bu. Assalamu'alaikum," Komang hilang dibalik pintu.
"Wa'alaikumsalam," Bu Rahmat terbengong-bengong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar