Brayo Jangan Sedih

Oleh Aris Priyono

        Di kawasan pesisir Pak Rahmat, sang Pejuang Mangrove, tinggallah tiga sahabat mangrove, Bogem, Bakau dan Brayo. Brayo sedang sedih. Banyak buahnya yang berguguran, jatuh tak berguna. Di musim buah seperti ini, dia ingin setiap buahnya bisa bermanfaat, seperti milik teman-temannya.
        "Jangan sedih, Brayo. Buahmu yang jatuh, kan bisa menjadi humus dan menyuburkan lantai hutan," hibur Bakau.
        "Aku tahu itu, tapi aku ingin buahku bisa bermanfaat sebelum mengering dan membusuk. Aku ingin buahku seperti buahmu, yang dimanfaatkan manusia menjadi pewarna batik," jawabnya murung.

Komang dan Kelomang Raksasa

Oleh Aris Priyono

        Hari itu Komang kembali merengek. Anak kelas lima SD itu, meminta ibunya mengantarnya ke pasar malam membeli Kelomang. Ibu Rahmat tak tega, dan menemui suaminya.
        "Sudah tiga hari ini Komang cemberut, Pak. Dia ingin pelihara Kelomang. Nanti malam Bapak bisa antar dia ke pasar malam, kan?" tanyanya.
        "Apa dia bisa merawatnya? Ikannya saja mati, sekarang malah mau Kelomang. Bapak mau mengantarnya asalkan dia janji memberi makan dan merawat Kelomangnya, rutin tiap hari," jawab Pak Rahmat.

Asal Usul Akar Bakau

Oleh Aris Priyono

        Alkisah, di laut terdalam, tinggallah raja Gurita yang kaya raya. Sebagai penguasa lautan, dia memiliki kekayaan melimpah berupa harta karun emas. Namun karena kekayaannya, dia menjadi tamak bahkan tak segan menghukum rakyat yang menentangnya, dengan menyiksanya di ruang bawah tanah.
        Raja Gurita berukuran raksasa, hampir selapangan bola. Untuk itulah, dia sangat ditakuti rakyatnya. Sang Permaisuri sering mengingatkan, agar dia tak menjadi raja jahat. Namun dengan congkaknya, dia berkata, "Tak ada rakyatku yang berani menentangku. Akulah penguasa kerajaan laut yang tak ada duanya."